SOROTAN

6/recent/ticker-posts

Bahasa Osing Kondisinya Setengah Mati


Kemarin (17/12), para pegiat sastra di Banyuwangi kembali berkumpul untuk membicarakan mengenai khasanah Bahasa Osing. Forum bertajuk Gesah Sastra ini digelar oleh paguyuban Sengker Kuwung Blambangan  dengan membawa semangat Kompleksitas Ruang Lokal sebagai Sumber Kreatif Sastrawi. Acara tersebut menghadirkan narasumber Dr. Ikwan Setiawan, M.A yang merupakan dosen Fakultas Ilmu Budaya UNEJ sekaligus peneliti di Matatimoer Institute. Disana, ia membahas mengenai perkembangan budaya lokal dan Bahasa Osing di Banyuwangi yang menurutnya semakin tahun justru tidak bisa eksis. Hal itu disebabkan oleh beberapa aspek. Diantaranya yaitu keberagaman etnis di Banyuwangi yang memiliki ciri khas masing-masing serta kurangnya terbitan seperti majalah ataupun buku di kalangan masyarakat yang menggunakan Bahasa Osing. Selain itu, penciptaan karya di Banyuwangi seringkali mengikuti selera masyarakat mayoritas. Ia menyarankan bahwasanya di situlah seharusnya para seniman turut menciptakan selera budaya lokal dan kebiasaan sastrawi kepada masyarakat untuk turut mengangkat khasanah Bahasa Osing.
Selain membicarakan mengenai perkembangan Bahasa Osing, forum yang digelar di Garden Café tersebut juga meluncurkan novel “Agul-Agul Belambangan” dan buku kumpulan cerpen “Kembang Ronce”. Kedua buku berbahasa Osing tersebut merupakan salah satu perwujudan visi Sengker Kuwung Belambangan untuk turut menjaga dan mengembangkan budaya Banyuwangi. “Seperti misalnya anak-anak sekolah belajar Bahasa Osing, tapi di luar mereka tidak punya majalah ataupun buku berbahasa Osing. Sehingga mereka tidak ada rujukan. Nah hal itu yang kita isi dengan menerbitkan buku-buku ini,” ujar Antariksawan Jusuf salah satu pegiat Bahasa Osing sekaligus moderator dalam acara tersebut.
Moh. Syaiful sebagai penulis novel Agul-Agul Belambangan menambahkan bahwa melalui novel tersebut ia berharap agar Bahasa Osing tetap lestari. Walau pembelajaran Bahasa Osing di beberapa tingkatan sekolah harus dihentikan sementara, namun bukan berarti belajar Bahasa Osing harus berhenti. Melalui novelnya itu pula ia mengajak pembaca untuk turut belajar sejarah Banyuwangi dan menjelajahi kampung-kampung dengan setting tahun 1770-an. Disana ia banyak memunculkan tokoh-tokoh sejarah yang namanya hampir tak pernah terdengar seperti Ki Uthun dan Mas Tepasana. “Sebenarnya banyak tokoh-tokoh sejarah Banyuwangi, hanya saja namanya tak banyak dikenal sebab tertindih oleh kebesaran nama tokoh2 yang lain,” ucapnya dengan aksen Osing yang khas.
Tak ketinggalan, salah satu budayawan senior Banyuwangi yaitu Hasnan Singodimayan juga turut hadir. Bahkan dirinya menyempatkan diri untuk bercerita dan menyemangati para peserta forum agar giat menulis, tidak hanya membaca. “Sudah diingatkan, Bahasa Osing ini kondisinya setengah mati kalau nggak dikembangkan,” ujarnya. Ia turut bangga dengan adanya buku berbahasa Osing tersebut. Apalagi  hadirnya novel sejarah seperti Agul-Agul Belambangan bisa menjadi salah satu upaya perkembangan budaya Banyuwangi.(EMS)


Link video : https://www.youtube.com/watch?v=XPWdgKOd6PE&feature=youtu.be