SOROTAN

6/recent/ticker-posts

Tari Seblang, Banyuwangi : Menari Bersama Roh Halus

Banyuwangi, kabupaten di ujung timur Pulau Jawa, kaya objek pariwisata alam maupun budaya. Letaknya memang strategis. Selat Bali di sebelah timur, Kabupaten Jember dan Bondowoso di barat, Lautan Hindia di selatan, dan dikelilingi  gunung-gunung (Raung, Merapi, Ijen, Rante dan Pendil).
Realitas itu menjadikan Banyuwangi memiliki potensi menguntungkan di bidang pertanian, perkebunan, dan sudah pasti pariwisata. Dalam bidang parkebunan misalnya, wisata agro di Kaliklatak dan Kalibaru merupakan bukti yang “berbicara sendiri”. Sedangkan kawah Ijen merupakan objek wisata alam paling eksotis.
Kemudian Pantai Plengkung di segitiga G-Land, terpilih menjadi tempat turnamen surving (selancar) internasional setiap tahun. Maklum, ketinggian gelombang di pantai ini mencapai 4-6 meter, sepanjang 2 km. Spektakuler! Masih banyak lagi objek wisata bernuansa alam yang dapat dinikmati. Sebut saja Taman Nasional Meru Betiri dan Alas Purwo, habitat sejumlah hewan langka dan dilindungi, antara lain banteng dan penyu.
Disamping suku bangsa Madura, Jawa, Bali dengan bahasa daerah masing-masing. Penduduk asli Banyuwangi adalah suku bangsa Using. Mereka hidup berdampingan secara rukun. Suku Using memiliki bahasa dan budaya yang masih kental. Salah satu budaya Using yang terpelihara baik hingga kini, ada di Desa Olehsari, Kecamatan Glagah, dan Desa Bakungan. Budaya dimaksud lazim mereka sebut Seblang, yakni upacara bersih desa. Ritual Seblang dalam wujud seni tari Seblang, dimaksudkan untuk memohon perlindungan pada Allah, agar des a mereka dijauhkan dari segala mara bahaya, malapetaka, serta diberi kemakmuran.

Perjanjian Roh Halus
Konon, terbentuknya kesenian Seblang merupakan perjanjian antara roh halus dengan Saridin, seorang dukun asli Desa Olehsari. Saridin diyakini memiliki kekuatan gaib dan dapat berkomunikasi dengan roh halus. Itu terjadi pada awal abad ke XIX. Penari pertama yang terpilih oleh persekutuan antara roh halus dengan Saridin adalah Mak Milah. Tari Seblang dipentaskan kali pertama pada bulan Syura, tahun 1930. Hingga kini yang menjadi dukun, penari, pangrawit (penabuh gamelan), wirasuara, bahkan “pengundang” (roh) adalah keturunan dari generasi pertama pementasan kesenian seblang tersebut. Uniknya disamping keturunan dari seniman-seniwati generasi pertama, yang menentukan tanggal, penarinya, sutradara, dan lainnya adalah roh halus melalui perantara dukun. Lebih unik lagi, ada perbedaan mencolok antara tari Seblang di Desa Olehsari dengan di Desa Bakungan. Di Olehsari, penari yang terpilih selalu masih gadis. Sedangkan di Bakungan, penarinya selalu perempuan yang telah menopause. Kostum penarinya pun unik. Mengenakan kemben (kain panjang yang dikenakan hingga di atas dada) dan sarung Kepala bermahkota omprok terbuat dari pupus (daun muda).
Suasana magis yang amat kental selalu ada dalam prosesi tari Seblang. Magis mulai mencuat saat dukun menyiapkan perlengkapan prosesi ritual dengan membaca mantera dan membawa prapen (tungku pembakaran kemenyan), berkeliling panggung. Kemudian prapen yang mengepulkan asap beraroma kemenyan diputar-putarkan di sekitar kepala penari. Ritual itu dimaksud untuk mengundang roh halus penari seblang dari generasi pertama.
Sesaat kemudian penari yang membawa tampah (nyiru) dengan mata ditutup kain, tampak kesurupan. Hal itu ditandai jatuhnya tampah dari tangan sipenari. Roh halus telah masuk ke jasad penari. Inti prosesi pun berlangsung, penari Seblang beraksi mengelilingi arena, diiringi alunan gending laras slendro plus suara khas pesinden. Gerakan penari sangat lincah, ringan, melayang-layang di udara.
 Menari Bersama
Ketika masuk pada gending Kembang Pepe, penari Seblang dengan mata selalu terpejam melemparkan selendang yang dipakainya pada laki-laki yang dikehendaki. Hal itu sebagai isyarat untuk mau menemani menari. Pemuda terpilih (penerima selendang) pantang menolak. Pasalnya, konon, sang penari yang dikendalikan roh bisa marah, dan diyakini akan terjadi bencana.
Sepuluh pemuda telah terpilih dalam satu pementasan untuk mendampingi menari bersama, secara bergantian. Dalam tujuh hari penyelenggaraan ritual Seblang, ada 70 laki-laki/pemuda yang menemani si penari. Suara gamelan terus mengalun sampai pada gending Mendhem gadung si penari berkeliling panggung dengan mata masih terpejam. Didampingi inang pengasuhnya, si penari menjajakan kembang teton yang dipercaya sebagai sarana untuk menggapai kemakmuran, keselamatan, bahkan perjodohan. Kembang talon itu bisa diperoleh dengan menganti uang sekadarnya. Prosesi ini disebut ider kembang (menjabunga).
Klimaks dari tarian sakral ini terjadi ketika masuk pada tembang Sondra Dewitembang urutan ke-24 dari 28 tembang yang harus dinyanyikan masing-masing 10 kali setiap kali pentas. Sehingga seorang penari Seblang tiap kali pentas akan menari terus-menerus selama lima jam dengan 280 tembang dalam bahasa Using. Bahasa tersebut tidak boleh dimodifikasi atau dikurangi (dipendekkan), karena akan mengundang murka roh yang merasuki tubuh penari. Dalam tempo tujuh hari pentas, berarti tembang yang dlalunkan sebanyak 1960 (280×7).
Hal itu berarti sang penari Seblang menari dengan alokasi waktu 35 jam! Sungguh suatu tarian yang membutuhkan stamina luar biasa. Tak pelak, Suasana Sakral mencuat kuat. Pantas seni tari ini memiliki daya pikat yang khas. Tentu, khas Using, Banyuwangi punya. Ros


source: jawatimuran